Banyaknya atau maraknya kyai kyai yang secara sengaja selalu berusaha terlibat dalam politik praktis. Niat itu semula mulia, yaitu ingin menjadikan politik sebagai media dakwah.namun terkadang niat itu tak kesampaian bahkan terkadang dakwahnya yang di pengaruhi oleh politik bukan malah sebaliknya .
sebenarnya kyai berpolitik sudah terjadi sejak dulu dalam sejarah indonesia banyak kyai yang ikut berpolitik langsung bahkan ikut andil dalam memerdekakan bangsa ini.
Ada juga yang ikut ambil bagian dalam perumusan dasar negara Indonesia, seperti K.H. Hasyim Asy’ary dan K.H.R. As’ad, tapi lebih banyak yang hanya melakukan aktivitas keagamaan dengan masyarakat setempat dan mengurus pesantren. Seperti halnya Wali Songo di tanah Jawa yang melulu berdakwah menyiarkan agama Islam, jauh dari aktivitas yang berorientasi pada kekuasaan dan materi.
Kiai merupakan figur yang berfungsi sebagai “penenang masyarakat” dalam kegelisahan yang mereka rasakan. Dalam pandangan masyarakat, kiai adalah figur yang “sakral” dan “bertuah”. Ia selalu diidentikkan dengan sesuatu yang berbau religius-spiritual, utamanya dalam masyarakat pedesaan. Selain itu, secara sosial figur kiai berfungsi sebagai pembimbing umat, juga sebagai penawar dari rasa haus akan spiritualitas masyarakat.
Di indonesia begitu banyaknya pesantren baik besar maupun kecil, setiap pesantren bisa menampung ratusan hingga ribuan santri dari berbagai daerah di Indonesia. dengan kata lain, kiai cukup mempunyai banyak santri serta masyarakat umum yang mengikuti fatwa-fatwanya. Dengan demikian, secara politis kiai mempunyai nilai tawar tersendiri bagi para elit politik.
Para elit politik dan pihak pihak tertentu tentu saja akan memanfaatkan pengaruh itu. Di masyarakat tertentu, kyai sangat dihormati sehingga apa yang dikatakan oleh mereka selalu diikuti. Sehingga jika seseorang atau partai politik mendapatkan dukungan politik dari kyai, sama artinya mendapat dukungan dari seluruh jama’ahnya.
Sekalipun begitu, masih ada kyai yang konsisten ingin menempatkan diri secara netral. Ia tidak terlibat dalam politik praktis dan tidak berpihak ke mana-mana. Dengan siapnya seperti itu, ia ingin mengayomi semua pihak. Siapapun yang datang meminta dukungan, seolah-olah akan didukung. Sengaja disebut seolah-olah, karena tatkala memilih, siapapun termasuk kyai, tidak boleh mencoblos lebih dari satu calon. Dan untungnya pemilihan itu dilakukan secara rahasia di dalam bilik yang tidak diketahui oleh siapapun.
Sikap netral kepada siapapun yang dikembangkan oleh kyai tersebut menjadikan tokoh agama selalu dijadikan anutan oleh siapapun. Ia diikuti dan disenangi oleh semua kelompok yang ada di desa itu. Siapapun baik yang menang atau yang kalah masih tetap merasa dekat dengan kyai, karena mereka telah didoakan. Kata kuncinya adalah telah direstui atas usahanya itu dan juga didoakan. Jika ada dugaan tentang pilihan yang sebenarnya dilakukan oleh kyai, maka hal itu hanya sebatas berada pada tataran dugaan. Pilihan yang sebenarnya tidak diketahui oleh siapapun. Karena secara dhahir, kyai menempatkan di antara mereka pada posisi dan tempat yang sama.
Cara menempatkan diri pada posisi netral seperti itu, ternyata dalam kenyataan memang tidak mudah. Sehingga akhir-akhir ini, tidak sedikit kyai yang kelihatan secara jelas keberpihakannya. Bahkan juga ada kyai yang nyata-nyata hanya mendukung seorang calon dan juga partainya. Sehingga muncul sekarang ini, kyai dengan berbagai label. Misalnya, kyai PKB, kyai PKNU, kyai PPP, kyai Golkar, kyai PDIP, dan lain-lain sejumlah partai politik yang ada dan masih dipandang pantas.
Dulu, figur kiai hanya berorentasi pada tingkat keimanan dan ketakwaan tertinggi, sekarang justru sebaliknya menjadi ”profesi” yang potensial meraup materi berlimpah. Sekali lagi bahwa tidak semua kiai melakukan hal itu. Tapi kita bisa melihat sendiri realitas yang ada. di lain pihak, kiai lebih cocok berfungsi sebagai pengontrol moral masyarakat. Lalu bagaimana ketika kiai berbenturan langsung dengan dunia politik?
Faktanya, dalam mind set masyarakat, politik merupakan dunia “abu-abu” dan “kotor”. Masyarakat akan mengalami kebingungan dengan sikap figur yang “suci” yang terlibat “jegal-menjegal”, bahkan sesama kiai. Apalagi dengan fatwa-fatwa yang cenderung dimaksudkan untuk kepentingan diri sendiri atau partai tertentu, di mana belum tentu disukai masyarakat.
Para kiai lupa bahwa politik utama kiai hanyalah sebatas kekuatan massa. Tidak secara kapasitas dan kompetensi, walaupun tidak semuanya. Terjun ke dunia politik bukan kesalahan, apalagi kejahatan. Tetapi, mereka harus kompeten dan punya kemampuan dalam politik. Kalau tidak, mereka hanya politicking atau mencari kekuasaan semata. Kapasitas dan kompetensi itu pastinya berkenaan dengan kemampuan figur kiai dalam pemerintahan dan politik secara demokratis.
Politik para kiai sekarang tidak bisa lagi hanya dibaca sebagai artikulasi semangat Nahdlatul Wathan (kebangkitan semangat nasionalisme), melainkan sudah sarat dengan kepentingan lain. Lambat laun figur kiai politik berani menyatakan pengendikan yang tidak layak atau tidak di dasari dengan hukum yang jelas seperti, “Santri saya yang berbeda partai dengan saya, jangan harap akan berkumpul dengan saya di akhirat kelak” atau “haram hukumnya memilih partai yang tak sejalan dengan kiai.” lha apa kiai tersebut lupa bahwa surga bukan miliknya atau partai tersebut , alaaaahhhh...... pakyai gi mna tuuh.....???????
Kiai zaman sekarang di hadapkan pada tiga perkara yang sama sama mengandung resiko
Pilihan pertama (politisi)
kiai yang menjadi politisi dengan meninggalkan label kiai Jika semula dihormati, maka begitu terjun ke politik, ia akan mendapat kritik, protes, bahkan hujatan dan cacian. Meski demikian ia tak boleh marah. Karena politisi adalah pejabat publik yang harus - bahkan wajib - dikontrol oleh masyarakat. Seorang politisi selain harus tahan mental - bahkan “tebal muka” - juga harus siap ditelanjangi masyarakat.
Pilihan Yang kedua (Kiai ya politisi)
Ia tentu akan sulit menjaga muru’ah, baik dalam perspektif kiai maupun agama. Meski demikian ia akan mendapat reward yang lain. Ia akan mengalami transformasi ekonomi luar biasa. Lihat saja kiai yang aktif di politik.. Hanya dalam sekejap, gaya hidup mereka langsung gemerlap. Mobilnya mewah dan keluaran terbaru. Begitu juga rumahnya, bagai istana. Bahkan istrinya kadang terus bertamb
Pilihan Yang Ketiga ( tetap konsisten sebagai kiai kultural)
Secara ekonomi kiai kultural tak bisa berkembang drastis seperti kiai politik. Malah bisa jadi ia tak punya mobil. Hidupnya bersahaya, kemana-mana jalan kaki dan sepeda motor. Ini memang resiko dari sebuah pilihan. Secara ekonomi dan popularitas ia lamban beranjak. Meski demikian ia bisa menjaga muru’ah. Ia bahkan akan semakin dihormati dan disegani. Apalagi kini populasi kiai makin berkurang akibat banyak yang hengkang menjadi politisi
CATATAN..............
Kyai semestinya menjadi milik bagi semua, yaitu semua saja yang berafiliasi ke berbagai partai politik yang beraneka ragam dan bahkan termasuk pada mereka yang tidak berafiliasi ke mana-mana. Memang, sebagai pewaris Nabi, dalam keadaan tertentu, kyai seharusnya melakukan peran-peran sebagai orang yang selalu memberi peringatan dan mengajak ke jalan yang benar kepada siapapun tanpa terkecuali, yaitu mencari ridho Allah dan bukan sebatas mengajak orang untuk mendapatkan kemenangan dalam berpolitik dengan tujuan mendapatkan imbalan dari yang di dukungnya apalagi malah memaksa meminta imbalan . WAllahu a’lam.
By : Romli (alumniep2mt@gmail.com)
Di bawah Asuhan K. Muhammad Adib Mubarok
Sabtu, 18 Juni 2011
Minggu, 05 Juni 2011
khilafiyah
Dizaman sekarang sering kyai kyai atau ulama begitu kakunya dalam memutuskan sesuatu hukum bahkan cenderung memberatkan padahal mereka tau bahwa di dalam hukum apalagi masalah furu’ itu ada istilah khilafiyah tapi mereka para kyai seakan akan melupakan istilah itu.padahal kita semua tahu bahwa khilafnya para ulama itu menjadikan rohmat bagi seluruh umat.
Sayangnya, seringkali perbedaan pendapat itu justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya kapasitas keilmuwan khusus dalam istimbath hukum.
Oleh karena itu mereka dalam memutuskan masalah tidak di dasari oleh dasar dasar hukum atau qoidah qoidah ataupu qiyasan,
Kebanyakan mereka tidak mengerti ilmui kecuali hanya sekedar bertaklid kepada seorang tokoh, atau bahkan hanya mendengarkan cerita bahwa tokoh ini pernah menghukumi seperti ini namun dengan beraninya mencaci-maki para ulama yang berbeda dengan pendapat mereka sambil menuduh mereka ahli bid’ah. Padahal dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikatakannya,hanya karena mereka punya santri buanyak pesantren yang besar dan pengaruh yang luas maka dia merasa segala yang di putuskan atau di katakana mereka adalah menjadi hukum pasti yang tidak boleh ada ulamak lain apalagi kyai yg hanya mempunyai santri sedikit untuk menentangnya. Ulama atau kyai yang seperti ini tidak lain adalah muqallid yang jahil serta tidak punya tata adab sebagai ulama.
Bahkan mereka juga tidak tahu bahwa tidak memiliki kapasitas dalam bidang menarik kesimpulan sesuatu hukum mereka tidak sadar mereka belumlah alim dalam hal ilmu fiqih sebagai dasar, ilmu ushul fiqih sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa’id fiqhiyah sebagai penunjang. Selain itu mereka pun harus memahami ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu lughah arabiyah dengan beragam cabangnya.
Karena hanya orang orang yang ahli atau alim semua ilmu atau kitab tersebut yang bisa menelusuri semua dalil yang berserakan lalu membangunnya menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan hukumnya.
Sayangnya, seringkali mereka yang bukan pada kapasitasnya itu berdebat tentang masalah yang mereka tidak menguasainya. Akibatnya mudah diterka, masalah akan semakin rumit di tangan orang yang tidak paham, dan cenderung menyesatkan .
Dan jikalau ada ulama lain yang tingkatan sosialnya lebih rendah dari mereka menentang hukum yang mereka putuskan tersebut dengan berbagai cara bahkan cenderung membabi buta dengan mnghalalkan segala cara dan upaya untu mengebiri kyai kecil tersebut dengan fitnah atau denagn menjatuhkan karakter hanya demi mempertahankan ego mereka dan tidak ingin masyarakat memandang mereka bodoh atau kalah dengan ulama kyai yg derajat sosialnya lebih rendah dari mereka
Sebaliknya, kita bila saksikan bagaimana indahnya para ulama di masa lalu memperbincangkan perbedaan pendapat. Tidak ada caci maki, apalagi saling ejek atau saling tuduh ahli bid’ah. Sebab masing-masing sadar bahwa argumen temannya itu tidak bisa dipatahkan begitu saja. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argemumentasi sendiri, tapi tetap saja menaruh hormat yang tinggi kepada pendapat orang lain. Rupanya, semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadhhu’ jiwa mereka.
Tapi bisakah kita meniru ulama ulama yg terdahulu lalu kalau tidak meniru mereka kita akan meniru siapa wahai para kyai….? Dan selama ini siapakah yang kita tiru…………..?
Untuk itu bagi orang awam dalam menyikapi masalh khilafiyah apalagi dalam masalah hukum hendaklah kita pandai pandai memilih manakah yang cocok bagi diri kita ,saudara kita ,keluarga kita dan masyarakat di sekitarnya mampukah kita menjalani nya .
wallahu a'lam bisawab
Romli (alumniep2mt@gmail.com)
Sabtu, 04 Juni 2011
Langganan:
Komentar (Atom)